Kenalkan namaku Shinta,
dan perlu kalian ketahui aku adalah cewek terpopuler di sekolah ini, SMA Bhakta
Wiyata. Banyak cowok yang mengincarku, mulai dari yang ganteng dan kerennya
selangit, hingga yaang eemm.. kurang ganteng.
“Lo merasa diperhatikan seseorang gak, Shin?” Tanya
Gita yang menemaniku di kantin saat ini.
“Eemm.. Gak. Jangan buat gue takut dong, Git” Terlihat
sekali memang air muka wajahku memucat.
Yep, saat ini
ada seseorang, tepatnya anak kelas 11 yang mengincarku untuk menjadi pacarnya.
Mengapa aku ketakutan? Oke, akan aku ceritakan dia. Dia, selalu menggunakan sweater merahnya yang kusam-tidak pernah
dicuci, memakai tas selempang yang sudah compang-camping dengan menenteng tas
itu di depan perutnya-berhasil membuatnya membungkuk karena memegangi tas
selempangnya, memakai sepatu dengan menginjak bagian belakang tanpa kaos kaki,
dan ia selalu menutup sebagian mukanya dengan kupluk yang ada di sweaternya.
“Mending kita cabut yuk, Shin. Gue rasa dia meyeramkan”
Tanpa banyak cincong lagi, aku dan Gita meninggalkan kantin yang masih ramai
dengan murid-murik kelas 10, 11, maupun 12.
...
Esoknya, aku penasaran dengan informasi dari kakak
kelasku yang sekelas dengan cowok bersweater merah kusam itu bahwa cowok itu
mengikuti ekskul basket. Astaga! Tak
kusangka cowok yang begitu menyeramkan dan misterius ini ternyata anak ekskul
paling terelite di sekolah ini. Dan, aku mengikutinya yang dengar-dengar ada
latihan sore ini.
“Ngapain seh lo peduli dengan cowok yang menyeramkan,
misterius, dan eemm.. aneh itu, Shin?” Tanya Gita padaku, yang jelas itu adalah
penolakan darinya terdengar dari artikulasi yang dikeluarkan.
“Masalahnya dia anak basket, Git! Lo tau kan basket itu
ekskul terelite di sekolah ini?” Aku balik bertanya padanya.
“Baiklah, gue nggak mau terima konsekuensi ketauan sama
cowok yang menyeramkan itu. Dan, sampai kapanpun gue nggak akan pernah sudi
kalo sampai-sampai lo suka dengannya.” Jelasnya. Gita ini memang tipikal cewek
yang memikirkan penampilan luar daripada dalamnya. Makanya begitu melihat cowok
bersweater merah kusam itu menyukaiku, ia menolak mentah-mentah. Dan, aku pun
juga seperti itu.
Aku mencoba menggapai jendela-jendela lapangan indoor
sekolah kami yang tinggi itu. Dan, aku berhasil! Mataku sibuk mencari-cari nomer
punggung 9 yang menurut info itu adalah nomer punggung seragam basketnya ka
Dauri. Itu dia! Cowok itu sedang melakukan layout untuk memasukkan bola ke
ring. Nomor punggung 9, memakai seragam basket dengan baju tanpa lengan dan
celana gombrong pendek, badannya yang tinggi menjulang begitu saja, rambut yang
sengaja agak dipanjangkan basah penuh keringat, badannya yang atletis pun basah
oleh keringat, daaan oke cukup!
“Lo harus liat di dalam! Coba lo liat pemain dengan
nomor punggung 9” Seruku setengah berteriak memberi tahu Gita, dan dengan
spontan aku menutup mulutku yang dari tadi setengah berteriak itu.
“Apaan seh? Jangan teriak-teriak, bakal ketauan” Sembur
Gita. Oke, aku memang bodoh!
Saat aku berbalik tubuh, jleb! Cowok bernomer punggung 9 itu sudah berada di depanku. Astaga! Ganteng sekali, keren, dengan
keringat yang mengucur dari rambut yang jejatuhan di pelipisnya.
“Mana,
Shin? Lo bohongin gue ya?!” Kesal Gita, aku tak bisa menjawab ocehannya itu
karena sekarang objeknya sudah berada di depanku.
“Gue disini, Git” Ka Dauri menyahuti omelan Gita.
Spontan Gita berbalik tubuh dan dengan mulut menganga ia melihat ka Dauri. “Lo
nyari gue, Git?” Tanya ka Dauri.
“Eemm..” Gita hanya bergumam, tak berani berkata-kata.
Aku yakin 100% bahwa Gita shock berat melihat ka Dauri yang berbeda. “Gue mau
pulang dulu, Ka. Ayo, Shin!” Tanpa banyak cincong lagi, tanganku ditarik Gita
berdiri dan meninggalkan ka Dauri. Aku sempat melirik ke arah belakang, dan ka
Dauri melambaikan tangan ke arahku.
Mulai hari itu juga, aku dan Gita sadar bahwa
penampilan tidak bisa menilai seseorang. Dengan segera aku mengSMS ka Dauri.
Ka,
aku mau liat kaka nggak pake sweater merah, tas selempang yang itu, dan pake
sepatu yang jelek itu. Ku tunggu!
Nit, nit. 1 New Message.
Oke.
Besok liat perubahan kaka ini ya! Miss you.
...
Aku sudah duduk manis di bawah pohon depan kelasku yang
diberi bangku panjang. Gita belum datang, jadi sebaiknya aku tunggu dia disini.
Nggak lama, Dita menghampiriku dengan wajah panik.
“Lo udah liat ka Dauri?” Tanyanya yang nafasnya masih
memburu.
“Heem.. Belum. Kenapa?” Tanyaku ingin tahu.
“Tdi gue ketemu ka Dauri di gerbang, dan lo tahu? Dia
tampil tanpa sweater merah yang kusam itu, tas selempang yang jelek dan sepatu
bututnya. Keren, Shin. Gue sempat terpaku lalu gue langsung ngacir kesini deh.
“Hihi. Gue yang nyuruh dia begitu, Git” Jawabku
cengengesan.
“Hebat!” Gita menepuk-nepuk bahuku.
Ketika kami sedang membicarakan ka Dauri. Tanpa
kusadari ka Dauri hadir dari belakangku, aku bisa menyangka dengan melihat raut
wajah Gita yang berubah begitu ada sesuatu di belakangku. Aku berbalik badan,
dan astaga! Aku pangling melihatnya.
“Ikut kaka yuk, Shin.” Tanpa mendengarkan
persetujuanku, ia sudah menyeretku ke tengah lapangan. Aku benar-benar tak
mengerti.
Ka Dauri berlutut di hadapanku, dan mengeluarkan
sepucuk mawar merah. Terdengar sorak-sorak dari berbagai sudut.
“Aku mau kamu jadi pacar aku. Ambil bunga ini kalo kamu
mau, lempar bunga ini kalu kamu nggak mau” Ia tersenyum ke arahku, mengharapkan
jawaban dariku. Ia sekarang berbeda, lebih tampak ganteng, keren, dan atletis
daripada yang dulu.
“Ambil! Ambil!” Terdengar suara dari seluruh murid yang
menontonkan kami. Jantungku berdegup kencang. Aku dengan segera mengambil bunga
yang berada di ka Dauri. “Horeee!” kembali suara bersoarak.
“Kamu mau?” Tanyanya.
“Mau” Jawabku.
“Mau apa?” Tanyanya lagi.
“Jadi pacar” Jawabku lagi.
“Pacar siapa?” Tanyanya. Kali ini dengan nada menggoda.
“Kamuu!” Teriakku.
“Hahaha”
Kami tertawa lepas di lapangan, dan ka Dauri memelukku erat. Ternyata ia punya
selera humor yang tinggi, dan ternyata ada sepasang mata tidak senang
melihatku, Gita. Aku tak tahu.