Jumat, 25 Januari 2013

Cincin Couple

"Mana cincin kamu sayang?" Tanyaku penasaran ketika cincin coupleku dengannya tidak melingkar pada jari manis tangan kanannya.

"Anuu, tadi ketinggalan di kamar mandi. Pas mandi aku lepas." Jawabnya terbata-bata. Aku merasa janggal dengan jawabannya.

"Oh... Itu tangan kiri kamu kenapa ada cincin? Katanya ketinggalan di kamar mandi?" Cecarku melihat jari manis tangan kirinya dilingkari sebuah cincin.

"Ah... Ternyata nggak ketinggalan. Hehe." Jawabnya sambil garuk-garuk kepala.

"Boleh aku lihat?" Aku penasaran dengan cincin yang melingkar di jari manis tangan kirinya. Memang warna dan bentuknya sama, namun ada sesuatu yang menjanggal. Tentu saja yang ia pakai bukan cincin coupleku dengannya.

Kriing. Kriing.

"Sebentar ya aku angkat telfon mama dulu." Aku pamit ke belakang sebentar untuk mengangkat telfon dari mama.

Setelah aku angkat telfon dari mama yang ternyata mama membutuhkan aku untuk menemaninya ke salon. Aku langsung ke meja yang tadi masih didudukinya.

"Maaf nih aku harus anterin mama dulu sayang. Kapan-kapan kita...." Loh? Kemana dia? Bukannya tadi disini? Iya disini meja no 8. Kemana?

"Cari siapa mbak?" Tanya salah satu waitress.

"Mas liat pacar saya disini? Tadi pakai kemeja putih dengan celana jeans panjang, lalu rambutnya disisir rapih." Tanyaku mendefinisi pacarku itu.

"Oh... Sebentar mbak saya ambilkan titipan darinya." Waitress itu berlalu. Titipan? Apa maksudnya? Apa yang mau ia titipkan kepadaku? "Ini mbak." Waitress itu memberikanku sebuah kotak.

"Makasih ya mas" Aku langsung saja membuka bingkisan kecil darinya. Dan ternyata cincin coupleku dengannya yang dimilikinya dan ada secarik kertas.

Jika kamu menerima dan membaca ini.
Ini artinya kita sudah jauh berpisah.
Bukan jarak lagi yang memisahkan kita.
Namun diri-Nya yang memisahkan kita.
Happy Anniversary 5th years sayang.

 "Maaf mbak, pacar mbak sedang dievakuasi di depan cafe ini." Waitress tadi memberitahuku. Dan ternyata isi surat itu benar. Bukan jarak lagi yang memisahakan, namun diri-Nya. Dan aku telah berburuk sangka padanya.

Minggu, 20 Januari 2013

Maafkan aku, Mbak.

1 New Message

"Aku tunggu di cafe biasa -Alfan"

Tanpa ba-bi-bu lagi, Mela segera meluncur ke tempat yang Mas Alfan maksud. Mungkin Mas Alfan ingin menanyakan sesuatu yang menyangkut tentang acara lamaran ia dengan kakakku, Mbak Rena. Ketika sampai di cafe, aku melihat mobil Honda Jazz nya sudah ada di parkiran. Langsung saja aku memasuki cafe tersebut. Mataku terus mencari batang hidungnya. Dan ah, dia duduk di meja nomer 8, pas dengan tanggal lamaran mereka nanti. Batinku.

"Aduh so sweetnya sampai nomer meja pun sama dengan tanggal acara lamaran nanti." Goda Mela.

"Ah, hanya kebetulan ko, Mel. Duduk sini." Mas Alfan mempersilahkan Mela duduk di sampingnya.

"Bisa aja ngelesnya. Ada apa ya mas nyuruh aku kesini?" Tanya Mela to the point.

"Soal...." Mas Alfan menggantungkan kalimatnya. Menatap tajam mata Mela.

"Lamaran kan, kak? Ada apa? Mas gugup ya?" Goda Mela lagi. Sebenernya Mela takut dengan tatapan tajam mas Alfan tadi.

"Bukan itu" Suara kak Alfan mengecil, kepalanya menunduk dalam-dalam. Mela bingung.

"Mas kenapa? Mas sakit? Mela bingung." Mela mulai panik.

"Enggak. Mas jatuh cinta pada perempuan lain, Mel. Perempuan selain Rena." Mela tahu mas Alfan berusaha mengeluarkan kata-katanya.

"APAA?! SIAPA PEREMPUAN ITU MAS?!" Mela langsung bangkit dari kursi ketika mas Alfan berbicara seperti itu.

"Mas mohon kamu tenang dulu. Minum dulu silahkan. Mas juga bingung kenapa bisa jatuh cinta pada perempuan itu." Mas Alfan berusaha menenangkan Mela.

"Sekarang mas silahkan cerita kenapa dan siapa perempuan itu." Mela mencoba menenangkan diri dengan Chocho Latte nya.

"Perempuan itu kamu, Mel. Aku jatuh cinta padamu saat makan malam dua hari yang lalu." Mas Alfan berbicara dengan lantang.

"Uhuk, uhuk." Mela tersedak minumannya. "Aku mas? Gak boleh mas!" Aku bersikeras melarangnya. Dan, segera pergi meninggalkannya. Tapi tanganku digenggam erat olehnya.

"Aku bakal lamar kamu dan membatalkan lamaranku ke Rena." Mas Alfan meninggikan suaranya. Dan, aku dibawa kepelukannya. "Aku cinta kamu, dan aku sudah pikirkan ini matang-matang" Lirih Mas Alfan.

"Maafkan aku, Mbak. Aku mencintai mas Alfan juga. Cinta pada pandangan pertama" Lirihku dalam hati.

tripleAoneB

Ini waktu Fotobox hari Jumat, 21 Desember 2012. Ini temen-temen deket aku di SMK. Yang kanan atas itu aku, yang sebelah aku namanya Tusamma Salsabila Cahya Firdaus, yang dibawah aku A'yuni Naifada, dan sebelahnya itu Atik Hidayani. Aku berterima kasih banget karena mereka udh terima aku yg blum ngerti bahasa jawa. Semoga kita selamanya ya B))

Abstrak

Setelah pesta petasan yang menghiasi malam itu. Ya, langit mendung tanpa bintang dan bulan. Tahun 2012 usai, dan berganti dengan cerianya awal tahun 2013. Riuh-piuk remaja yang merayakan bergantinya tahun ini, dengan senyum lebar mereka siap untuk melawan galau yang mungkin akan menghambat kesenangan mereka di tahun 2013 ini. Not me, not for me.

Aku masih terdiam menyaksikan langit yang dipenuhi sambaran petasan. Tentu saja ditemani HPku yang malang. Sudah setengah jam aku menunggu smsnya, berharap mendapatkan ucapan darinya. Namun hasilnya tetap zonk, nihil. Sampai akhirnya, aku terlarut dalam gemerlapnya malam pergantian tahun itu.

Aku mencoba bersabar mendapati kenyataan ini. Sudah setengah hari aku lewati tanpa ucapan darinya. Ah, mungkin semalam ia kecapekan. Hiburku. Dan, menjelang senja, aku mendapatkan kabar darinya. Sangat hati-hati membuka smsnya, namun... hanya ada tulisan "ap ?". Ini benar-benar menyakitkan, ia tak merasa bersalah terhadapku. Sikapnya yang acuh denganku membuatku bingung, sangat terlihat dari cara smsnya. Sampai akhirnya, hari-hari berikutnya aku tak mendapat kabar darinya.

Aku tetap mencoba menghubunginya, namun... tetap tak ada hasilnya. Sampai aku pasrah menghadapinya, pikiran negatif pun terlontar begitu saja dibenakku. Aku menikmati pikiran-pikiran negatif itu, biar nanti hilang dengan seiring berjalannya waktu. Dan, aku mendapat kabar dari salah satu temannya...
"Asti yg sbr ya :) lnggr lg ngetes kesetiaan dan kekuatan hati kmu. Pkoknya km hrus kuat, mngkin 1/2 blnan"

Deg, kenapa? Kenapa harus ada tes kayak gitu? Apa ia tak pernah tau aku disini lemah? Ya lemah, lemah menghadapinya. Bagaimana kalau aku malah jatuh kepada orang lain? Bagaimana jika aku tak mempercayaimu lagi? Tolong pikirkan itu, Ling...

Senin, 07 Januari 2013

Beruntungnya Menjadi Amel



Di Kantin.
              “Besok elo mimpin senam kan, Bel?” Tanya Mila kepadaku.
              “Hmm..Tapi rada males juga, Mil.” Jawabku lemas, menyender ke punggung kursi sambil menikmati jus alpukat buatan mas Pur, tukang jus di kantin belakang.
              “Emangnya kenapa, Bel?” Tanya Mila lagi.
              “Lagi ada problem nih sama kak Rini, gara-gara gue deket sama mantannya. Malah dia nuduh gue sebagai penyebab putusnya hubungan mereka, Mil, Mil. Padahal gue deket sama mantannya aja setelah dia putus.” Celotehku.
              “Lagi elo juga sih, Bel. Dari dulu nggak pernah hilang sifat centil elo sama kakak kelas cowok yang nan kece-kece” Cecar Mila, yang tahu persis sifatku itu.
              “Udah bawaan dari lahir Honey Bunny Sweety. Susah dihilangin nih.” Jawabku jujur.
              Up to you ya, Bel. Dari SMP elo emang nggak ada kapoknya dilabrak dan punya banyak masalah sama kakak kelas. Sepertinya itu malah hobi baru elo ya, Bel?” Tanya Mila to the point.
              “Nggak ko Milaku sayangku cintaku. Bukan hobi baru, tapi hobi dari dulu. Hehehe.” Cengirku, memamerkan deretan gigi nan putih kepadanya.
              “Terserah elo deh, Bel. Gue mau ke kelas.” Mila meninggalkanku.
              Ya, aku tahu. Dia sangat kecewa denganku karena aku hanya berjanji dengannya untuk menghentikan kekonyolan ini- membuat kakak-kakak kelas cewek cemburu dengan cara ia dekat dengan kakak-kakak kelas cowok nan kece-kece-. Sudah dari kelas 2 SMP aku menjalankan kekonyolanku itu, berarti sudah 2 tahun.
...
              Acara senam memang paling ditunggu murid-murid dan guru-guru sesekolahan ini. Mengapa? Karena kita bisa melihat teman-teman kita yang setiap hari menggunakan seragam sekarang menggunakan baju bebas yang cocok untuk senam dan guru-guru kita yang setiap harinya berdandan formal kini memakai baju bebas yang cocok untuk senam juga.
              Hari ini aku memakai seragam senam berwarna biru soft yang tidak terlalu ngepas di badan. Agar terlihat lebih sopan. Dan kedua rambutku dikuncir kuda, dengan poni dora yang tak kalah menghiasi wajahku pagi ini. Hari ini pula aku sedikit datang terlambat karena mobil mas Bams, sopirku, mogok di tengah jalan.
              “Bel, ayo sini! Bu Pur sudah manggilin kamu buat pimpin senam hari ini!” Teriak Mila dari lapangan.
              “Iya bentar, Miiil! Ini lagi iket sepatu gue yang lepaas!” Sahutku tak kalah keras dari teriakannya Mila.
              Dan, aku sudah berada di atas podium lapangan sekolahku. Banyak pasang mata memandangku dengan berbagai macam pandangan. Ada pandangan iri, pandangan takjub, pandangan sinis, dan sebagainya. Sudah pasti pandangan kak Rini dan teman-temannya adalah sinis, sedangkan untuk para kakak kelas cowok memandangku takjub.
              “Kita senam dulu ya every body! Musiik!” Teriakku. Dan dengan segera bu Pur menyalakan CD Player, terdengar lagu poco-poco mengalun.
              Aku memimpin senam pagi ini, senam yang dihiasi canda tawa murid-murid dan guru-guru yang mengikutiku senam membuatku dapat tersenyum lebar, berseri. Hari ini, rencanaku untuk lagu pendinginan adalah lagu Agnes Monica dengan Matahariku. Menurutku, lagu itu melow sehingga cocok untuk pendinginan senam kali ini.
              Setelah senam poco-poco sudah selesai. Aku melanjutkan untuk senam pendinginan, agar sehabis ini tidak ada yang kram.
              “Bu Puur, Matahariku cekidoot.” Teriakku lantang. Dan alunan lagu Agnes Monica dengan Matahariku mengalun indah. Ah rasanya aku terbawa lagu ini, sampai-sampai aku baru engeh ketika teman-teman meneriakanku kalau lagu itu sudah habis. Konyol.
...
              Dengan segera, aku dan Mila ke kantin untuk membeli jus alpukat plus burger chees kesukaanku dan jus melon plus spagheti kesukaan Mila. Kami ambil tempat duduk di bawah pohon mangga yang dibawahnya sudah ada meja plus bangku, ini memang tempat favoritku dengan Mila. Aku menikmati pesananku dan juga Mila menikmati pesanannya.
              Kalau sudah begini, Mila bakal cerita panjang lebar tentang hubungan LDRnya bareng Aldy yang sudah berjalan 3 tahun. Mila di Bogor, sedangkan Aldy di Wonogiri. Sungguh! Aku kagum pada Mila, ia bisa setia disini, padahal belum tentu Aldy disana juga setia. Mila juga tahan dengan godaan beberapa kakak kelas cowok nan kece-kece disini yang sudah berusaha payah menaklukan hati Mila. Tetap saja dihati Mila hanya satu, ALDY!
              “Itu ada apaan sih rame-rame, Mil?” Tanyaku yang agak terusik dengan keramaian di depan kelas 10-5 yang terletak di dekat kantin.
              “Mana, Bel?” Tanya Mila yang ternyata tidak menyadari keramaian di sudut kantin.
              “Itu loh depan kelas 10-5, Mil. Ko pada teriak-teriak cie-cie sih?” Tanyaku lagi, penasaran.
              “Oh..Itu. Waktu itu Amel cerita ke gue baru deket sama kak Rio, itu mantannya kak Rini. Trus katanya kak Rio mau nembak Amel langsung, Bel.” Cerita Mila.
              “APA? Kak Rio ko nggak pernah cerita ke gue seh?” Aku kaget. Sumpah! Selama dekat dengannya aku merasa hanya aku yang sedang dekat dengan dirinya. Sial!
              “Ckck. Mana gue tau, Bel.”
              Aku langsung menuju keramaian, mengabaikan jawaban terakhir Mila dan meninggalkannya. Aku berusaha menyempil diantara mereka-mereka yang mengerubungi kak Rio dan Amel, setelah berusaha payah melewati rintangan dan hap! Aku sudah berada di depan persis kejadian. Kak Rio berlutut memberikan bunga mawar merah kepada Amel, sedangkan Amel malu-malu menanggapi kak Rio.
              Aku senang, karena ini membuktikan kalau bukan karena aku hubungan kak Rio dan kak Rini kandas, tetapi karena Amel. Ada sedikit rasa nyesek di sudut hatiku, namun tak apalah. Toh, hubunganku dengan kak Rio hanya sekedar adik-kakak, tidak lebih.
              Amel melihat ada sepasang mata melihat kejadian itu juga dari seberangku, kak Rini. Aku sangat tahu perasaan kak Rini saat ini, mungkin benar-benar hancur. Melihat sang mantan yang masih sangat ia sayangi menembak seorang adik kelas yang sudah membuat hubungan mereka hancur dan sekaligus merebut perhatian kak Rio. Pasangan Double R “Rio-Rini” sudah tiada.
            Amel mengambil mawar merah yang berada di tangan kak Rio, dan pada saat itu juga suara riuh pikuk sekitar berteriak “hore”. Aku melihat ke arah kak Rini, ia tersenyum kepadaku. Aku tahu, itu senyum sok tegarnya. Dan, betapa beruntungnya Amel saat ini.

Si Dekil Bersweater Merah



             Kenalkan namaku Shinta, dan perlu kalian ketahui aku adalah cewek terpopuler di sekolah ini, SMA Bhakta Wiyata. Banyak cowok yang mengincarku, mulai dari yang ganteng dan kerennya selangit, hingga yaang eemm.. kurang ganteng.
              “Lo merasa diperhatikan seseorang gak, Shin?” Tanya Gita yang menemaniku di kantin saat ini.
              “Eemm.. Gak. Jangan buat gue takut dong, Git” Terlihat sekali memang air muka wajahku memucat.
            Yep, saat ini ada seseorang, tepatnya anak kelas 11 yang mengincarku untuk menjadi pacarnya. Mengapa aku ketakutan? Oke, akan aku ceritakan dia. Dia, selalu menggunakan sweater merahnya yang kusam-tidak pernah dicuci, memakai tas selempang yang sudah compang-camping dengan menenteng tas itu di depan perutnya-berhasil membuatnya membungkuk karena memegangi tas selempangnya, memakai sepatu dengan menginjak bagian belakang tanpa kaos kaki, dan ia selalu menutup sebagian mukanya dengan kupluk yang ada di sweaternya.
              “Mending kita cabut yuk, Shin. Gue rasa dia meyeramkan” Tanpa banyak cincong lagi, aku dan Gita meninggalkan kantin yang masih ramai dengan murid-murik kelas 10, 11, maupun 12.

...
              
             Esoknya, aku penasaran dengan informasi dari kakak kelasku yang sekelas dengan cowok bersweater merah kusam itu bahwa cowok itu mengikuti ekskul basket. Astaga! Tak kusangka cowok yang begitu menyeramkan dan misterius ini ternyata anak ekskul paling terelite di sekolah ini. Dan, aku mengikutinya yang dengar-dengar ada latihan sore ini.
              “Ngapain seh lo peduli dengan cowok yang menyeramkan, misterius, dan eemm.. aneh itu, Shin?” Tanya Gita padaku, yang jelas itu adalah penolakan darinya terdengar dari artikulasi yang dikeluarkan.
              “Masalahnya dia anak basket, Git! Lo tau kan basket itu ekskul terelite di sekolah ini?” Aku balik bertanya padanya.
              “Baiklah, gue nggak mau terima konsekuensi ketauan sama cowok yang menyeramkan itu. Dan, sampai kapanpun gue nggak akan pernah sudi kalo sampai-sampai lo suka dengannya.” Jelasnya. Gita ini memang tipikal cewek yang memikirkan penampilan luar daripada dalamnya. Makanya begitu melihat cowok bersweater merah kusam itu menyukaiku, ia menolak mentah-mentah. Dan, aku pun juga seperti itu.
              Aku mencoba menggapai jendela-jendela lapangan indoor sekolah kami yang tinggi itu. Dan, aku berhasil! Mataku sibuk mencari-cari nomer punggung 9 yang menurut info itu adalah nomer punggung seragam basketnya ka Dauri. Itu dia! Cowok itu sedang melakukan layout untuk memasukkan bola ke ring. Nomor punggung 9, memakai seragam basket dengan baju tanpa lengan dan celana gombrong pendek, badannya yang tinggi menjulang begitu saja, rambut yang sengaja agak dipanjangkan basah penuh keringat, badannya yang atletis pun basah oleh keringat, daaan oke cukup!
              “Lo harus liat di dalam! Coba lo liat pemain dengan nomor punggung 9” Seruku setengah berteriak memberi tahu Gita, dan dengan spontan aku menutup mulutku yang dari tadi setengah berteriak itu.
              “Apaan seh? Jangan teriak-teriak, bakal ketauan” Sembur Gita. Oke, aku memang bodoh!
              Saat aku berbalik tubuh, jleb! Cowok bernomer punggung 9 itu sudah berada di depanku. Astaga! Ganteng sekali, keren, dengan keringat yang mengucur dari rambut yang jejatuhan di pelipisnya.
              “Mana, Shin? Lo bohongin gue ya?!” Kesal Gita, aku tak bisa menjawab ocehannya itu karena sekarang objeknya sudah berada di depanku.
              “Gue disini, Git” Ka Dauri menyahuti omelan Gita. Spontan Gita berbalik tubuh dan dengan mulut menganga ia melihat ka Dauri. “Lo nyari gue, Git?” Tanya ka Dauri.
              “Eemm..” Gita hanya bergumam, tak berani berkata-kata. Aku yakin 100% bahwa Gita shock berat melihat ka Dauri yang berbeda. “Gue mau pulang dulu, Ka. Ayo, Shin!” Tanpa banyak cincong lagi, tanganku ditarik Gita berdiri dan meninggalkan ka Dauri. Aku sempat melirik ke arah belakang, dan ka Dauri melambaikan tangan ke arahku.
              Mulai hari itu juga, aku dan Gita sadar bahwa penampilan tidak bisa menilai seseorang. Dengan segera aku mengSMS ka Dauri.
Ka, aku mau liat kaka nggak pake sweater merah, tas selempang yang itu, dan pake sepatu yang jelek itu. Ku tunggu!
              Nit, nit. 1 New Message.
Oke. Besok liat perubahan kaka ini ya! Miss you.
...

              Aku sudah duduk manis di bawah pohon depan kelasku yang diberi bangku panjang. Gita belum datang, jadi sebaiknya aku tunggu dia disini. Nggak lama, Dita menghampiriku dengan wajah panik.
              “Lo udah liat ka Dauri?” Tanyanya yang nafasnya masih memburu.
              “Heem.. Belum. Kenapa?” Tanyaku ingin tahu.
              “Tdi gue ketemu ka Dauri di gerbang, dan lo tahu? Dia tampil tanpa sweater merah yang kusam itu, tas selempang yang jelek dan sepatu bututnya. Keren, Shin. Gue sempat terpaku lalu gue langsung ngacir kesini deh.
              “Hihi. Gue yang nyuruh dia begitu, Git” Jawabku cengengesan.
              “Hebat!” Gita menepuk-nepuk bahuku.
              Ketika kami sedang membicarakan ka Dauri. Tanpa kusadari ka Dauri hadir dari belakangku, aku bisa menyangka dengan melihat raut wajah Gita yang berubah begitu ada sesuatu di belakangku. Aku berbalik badan, dan astaga! Aku pangling melihatnya.
              “Ikut kaka yuk, Shin.” Tanpa mendengarkan persetujuanku, ia sudah menyeretku ke tengah lapangan. Aku benar-benar tak mengerti.
              Ka Dauri berlutut di hadapanku, dan mengeluarkan sepucuk mawar merah. Terdengar sorak-sorak dari berbagai sudut.
              “Aku mau kamu jadi pacar aku. Ambil bunga ini kalo kamu mau, lempar bunga ini kalu kamu nggak mau” Ia tersenyum ke arahku, mengharapkan jawaban dariku. Ia sekarang berbeda, lebih tampak ganteng, keren, dan atletis daripada yang dulu.
              “Ambil! Ambil!” Terdengar suara dari seluruh murid yang menontonkan kami. Jantungku berdegup kencang. Aku dengan segera mengambil bunga yang berada di ka Dauri. “Horeee!” kembali suara bersoarak.
              “Kamu mau?” Tanyanya.
              “Mau” Jawabku.
              “Mau apa?” Tanyanya lagi.
              “Jadi pacar” Jawabku lagi.
              “Pacar siapa?” Tanyanya. Kali ini dengan nada menggoda.
              “Kamuu!” Teriakku.
            “Hahaha” Kami tertawa lepas di lapangan, dan ka Dauri memelukku erat. Ternyata ia punya selera humor yang tinggi, dan ternyata ada sepasang mata tidak senang melihatku, Gita. Aku tak tahu.

Minggu, 06 Januari 2013

Dia



Hembusan angin disini berbeda dengan hembusan angin sejuk di pekarangan rumahnya. Sejuk, dingin, tapi menusuk sampai rusuknya, sepi dari suara keramaian. Hanya terdengar suara berisik dedaunan yang bergoyang indah tetapi terkesan menyeramkan.
            Kezia sedang duduk di bangku panjang di bawah pohon beringin, sendirian. Di pangkuannya sudah ada sebuket bunga dan air mawar. Yep, ia datang ke tempat ini sengaja untuk melihat keadaan makam alm.mama nya. Menatap lurus dengan pandangan kosong dan terkadang peristiwa setahun lalu yang menimpa mamanya mengganggu pikirannya dan datang tanpa permisi.
            Pikirannya sedang pergi entah kemana. Tanpa sadar, ada seorang cowok duduk di sebelahnya. Celana panjang gombrong, kaus oblong, kamera dikalungkan, dan tangan kanannya memegang sebuket bunga. Sudah 15 menit yang lalu cowok itu memperhatikan Kezia. Dan ia otomatis menyaksikan Kezia menangis. Kezia kaget mendapatkan ada seseorang di sampingnya.
            “Siapa lo?” Tanya Kezia kaget, nyaris ia melompat dari bangku itu.
            “Gue Hamzah. Lo?” Tanyanya balik bertanya pada Kezia.
            “Kezia. Ngapain lo kesini?” Tanya Kezia bodoh. Apa seh yang dilakukan orang-orang ke pemakaman kalau bukan untuk nyekar? Gak mungkin kan cowok seganteng Hamzah jadi tukang jaga pemakaman?
            “Nyekar makam bokap. Lo?”
            “Nyekar makam nyokap”
            Setelah mendapatkan jawaban dari Kezia, cowok itu menghampiri sebuah makam, berjongkok dan berdiam diri sejenak, lalu menaruh sebuket bunga di depan nisannya. Setelah itu, Hamzah pergi meninggalkan pemakaman. Kezia bergidik seram melihat Hamzah yang datang secara tiba-tiba di pemakaman. Tapi, Kezia melupakan masalah itu dan bangkit dari bangku panjang yang ia duduki. Menghampiri makam yang bertuliskan “Karmila Binti Ateng 291072 040312” di nisan, mengirimkan doa, dan menaruh sebuket bunga di depan nisan lalu menyiram dengan air mawar.
...
            Semenjak liburan, Kezia hampir setiap hari pergi ke makam.Kalau tidak ke makam pasti karena mas Adit mengajaknya ke toko buku atau papanya yang suka mengajak Kezia ke kantornya di Amrik ketika libur panjang begini. Hari ini, Kezia melihat keadaan makam mamanya lagi. Dan, Hamzah duduk disampingnya, Kezia pun menoleh “klik”.
            “Hey, bisakah kau memotretku secara bilang-bilang?” Bentak Kezia.
            “Habis, kau terlihat murung”
            “Bukan urusanmu”
            “klik” tertangkap wajah Kezia yang sedang bete banget. Hamzah tertawa, Kezia memanyunkan mulutnya. “klik” tertangkap yang lebih jelek dari yang tadi. Kezia kesal dan mengejar Hamzah. Hamzah terus berlari, berlari, dan bruk. Ada akar pohon.
            Lutut Hamzah berdarah, Kezia panik tetapi disambut tawa keras Hamzah. Tanpa babibu lagi Kezia memukul lutut Hamzah yang berdarah, dan ia meringis. Gantian.
            “Gue pulang ya, mau cepet-cepet diobatin nih” Seru Hamzah.
            “Nggak mau gue anter, Zah?” Tawar Kezia.
            “Nggak usah. Makasih banyak” Lalu ia menghilang di pemakaman. Dan, menjatuhkan kartu pelajarnya.
            Hari-hari Kezia sudah tidak sepi lagi. Ada Hamzah yang menghiasi hari-harinya. Waktu nyekarpun mereka secara bergantian menemani, ke toko buku juga-mereka sudah membeli banyak buku hasil patungan, dan sudah banyak pula foto-foto mereka yang ada di kamera Hamzah.
            1 bulan sudah mereka menjalin hubungan tanpa status. Sampai akhirnya Hamzah menyatakan perasaanya kepada Kezia.
            “Kalau kamu terima aku, foto diri kamu sambil senyum” Jelas Hamzah.
            “Kalau aku nggak terima kamu?” Tanya Kezia.
            “Foto diri kamu sambil manyun” Jelasnya lagi.
            “Oke, tapi aku foto disana aja ya?” Aku menunjuk ke arah yang agak jauh darinya.
            “Oke”
            Kezia pun menjauh dari Hamzah, dan tanpa Hamzah ketahui, Kezia memotret dirinya dengan senyum lebar sampai matanya. Kezia meminta Hamzah untuk melihatnya waktu sampai rumah saja, karena ia sangat malu menjawab itu untuk Hamzah.
            Mereka senang karena status mereka saat ini berpacaran. Tapi seminggu setelah jadian, Kezia tak pernah mendapatkan kabar dari Hamzah. Hamzah menghilang. Maka, Kezia segera memutuskan untuk ke rumahnya yang tertera di kartu pelajar milik Hamzah.

            Sampai di rumah Hamzah, Kezia bertemu dengan ibunya dan langsung menanyakan Hamzah. Bukan jawaban yang Kezia dapat, melainkan isak tangis ibunya, Kezia bingung.
            Ternyata 3 bulan yang lalu, keluarga ini mengalami kecelakaan mobil yang hebat. Namun, hanya Hamzah dan ayahnya yang meninggal. Sementara, ibunya dan adiknya selamat. Ibunya mengantarkan Kezia ke rumah Hamzah yang sekarang. Kaki Hamzah terasa lemas ketika ada nama Hamzah di papan nisannya. Makam Hamzah tepat disebelah makam ayahnya, namun mengapa selalu tak pernah terlihat?
            Lalu? Siapa yang menemani hari-harinya membeli buku? nyekar makam mama? memotret dirinya? menghiasi hari-harinya? Kezia ketakutan.