Senin, 07 Januari 2013

Si Dekil Bersweater Merah



             Kenalkan namaku Shinta, dan perlu kalian ketahui aku adalah cewek terpopuler di sekolah ini, SMA Bhakta Wiyata. Banyak cowok yang mengincarku, mulai dari yang ganteng dan kerennya selangit, hingga yaang eemm.. kurang ganteng.
              “Lo merasa diperhatikan seseorang gak, Shin?” Tanya Gita yang menemaniku di kantin saat ini.
              “Eemm.. Gak. Jangan buat gue takut dong, Git” Terlihat sekali memang air muka wajahku memucat.
            Yep, saat ini ada seseorang, tepatnya anak kelas 11 yang mengincarku untuk menjadi pacarnya. Mengapa aku ketakutan? Oke, akan aku ceritakan dia. Dia, selalu menggunakan sweater merahnya yang kusam-tidak pernah dicuci, memakai tas selempang yang sudah compang-camping dengan menenteng tas itu di depan perutnya-berhasil membuatnya membungkuk karena memegangi tas selempangnya, memakai sepatu dengan menginjak bagian belakang tanpa kaos kaki, dan ia selalu menutup sebagian mukanya dengan kupluk yang ada di sweaternya.
              “Mending kita cabut yuk, Shin. Gue rasa dia meyeramkan” Tanpa banyak cincong lagi, aku dan Gita meninggalkan kantin yang masih ramai dengan murid-murik kelas 10, 11, maupun 12.

...
              
             Esoknya, aku penasaran dengan informasi dari kakak kelasku yang sekelas dengan cowok bersweater merah kusam itu bahwa cowok itu mengikuti ekskul basket. Astaga! Tak kusangka cowok yang begitu menyeramkan dan misterius ini ternyata anak ekskul paling terelite di sekolah ini. Dan, aku mengikutinya yang dengar-dengar ada latihan sore ini.
              “Ngapain seh lo peduli dengan cowok yang menyeramkan, misterius, dan eemm.. aneh itu, Shin?” Tanya Gita padaku, yang jelas itu adalah penolakan darinya terdengar dari artikulasi yang dikeluarkan.
              “Masalahnya dia anak basket, Git! Lo tau kan basket itu ekskul terelite di sekolah ini?” Aku balik bertanya padanya.
              “Baiklah, gue nggak mau terima konsekuensi ketauan sama cowok yang menyeramkan itu. Dan, sampai kapanpun gue nggak akan pernah sudi kalo sampai-sampai lo suka dengannya.” Jelasnya. Gita ini memang tipikal cewek yang memikirkan penampilan luar daripada dalamnya. Makanya begitu melihat cowok bersweater merah kusam itu menyukaiku, ia menolak mentah-mentah. Dan, aku pun juga seperti itu.
              Aku mencoba menggapai jendela-jendela lapangan indoor sekolah kami yang tinggi itu. Dan, aku berhasil! Mataku sibuk mencari-cari nomer punggung 9 yang menurut info itu adalah nomer punggung seragam basketnya ka Dauri. Itu dia! Cowok itu sedang melakukan layout untuk memasukkan bola ke ring. Nomor punggung 9, memakai seragam basket dengan baju tanpa lengan dan celana gombrong pendek, badannya yang tinggi menjulang begitu saja, rambut yang sengaja agak dipanjangkan basah penuh keringat, badannya yang atletis pun basah oleh keringat, daaan oke cukup!
              “Lo harus liat di dalam! Coba lo liat pemain dengan nomor punggung 9” Seruku setengah berteriak memberi tahu Gita, dan dengan spontan aku menutup mulutku yang dari tadi setengah berteriak itu.
              “Apaan seh? Jangan teriak-teriak, bakal ketauan” Sembur Gita. Oke, aku memang bodoh!
              Saat aku berbalik tubuh, jleb! Cowok bernomer punggung 9 itu sudah berada di depanku. Astaga! Ganteng sekali, keren, dengan keringat yang mengucur dari rambut yang jejatuhan di pelipisnya.
              “Mana, Shin? Lo bohongin gue ya?!” Kesal Gita, aku tak bisa menjawab ocehannya itu karena sekarang objeknya sudah berada di depanku.
              “Gue disini, Git” Ka Dauri menyahuti omelan Gita. Spontan Gita berbalik tubuh dan dengan mulut menganga ia melihat ka Dauri. “Lo nyari gue, Git?” Tanya ka Dauri.
              “Eemm..” Gita hanya bergumam, tak berani berkata-kata. Aku yakin 100% bahwa Gita shock berat melihat ka Dauri yang berbeda. “Gue mau pulang dulu, Ka. Ayo, Shin!” Tanpa banyak cincong lagi, tanganku ditarik Gita berdiri dan meninggalkan ka Dauri. Aku sempat melirik ke arah belakang, dan ka Dauri melambaikan tangan ke arahku.
              Mulai hari itu juga, aku dan Gita sadar bahwa penampilan tidak bisa menilai seseorang. Dengan segera aku mengSMS ka Dauri.
Ka, aku mau liat kaka nggak pake sweater merah, tas selempang yang itu, dan pake sepatu yang jelek itu. Ku tunggu!
              Nit, nit. 1 New Message.
Oke. Besok liat perubahan kaka ini ya! Miss you.
...

              Aku sudah duduk manis di bawah pohon depan kelasku yang diberi bangku panjang. Gita belum datang, jadi sebaiknya aku tunggu dia disini. Nggak lama, Dita menghampiriku dengan wajah panik.
              “Lo udah liat ka Dauri?” Tanyanya yang nafasnya masih memburu.
              “Heem.. Belum. Kenapa?” Tanyaku ingin tahu.
              “Tdi gue ketemu ka Dauri di gerbang, dan lo tahu? Dia tampil tanpa sweater merah yang kusam itu, tas selempang yang jelek dan sepatu bututnya. Keren, Shin. Gue sempat terpaku lalu gue langsung ngacir kesini deh.
              “Hihi. Gue yang nyuruh dia begitu, Git” Jawabku cengengesan.
              “Hebat!” Gita menepuk-nepuk bahuku.
              Ketika kami sedang membicarakan ka Dauri. Tanpa kusadari ka Dauri hadir dari belakangku, aku bisa menyangka dengan melihat raut wajah Gita yang berubah begitu ada sesuatu di belakangku. Aku berbalik badan, dan astaga! Aku pangling melihatnya.
              “Ikut kaka yuk, Shin.” Tanpa mendengarkan persetujuanku, ia sudah menyeretku ke tengah lapangan. Aku benar-benar tak mengerti.
              Ka Dauri berlutut di hadapanku, dan mengeluarkan sepucuk mawar merah. Terdengar sorak-sorak dari berbagai sudut.
              “Aku mau kamu jadi pacar aku. Ambil bunga ini kalo kamu mau, lempar bunga ini kalu kamu nggak mau” Ia tersenyum ke arahku, mengharapkan jawaban dariku. Ia sekarang berbeda, lebih tampak ganteng, keren, dan atletis daripada yang dulu.
              “Ambil! Ambil!” Terdengar suara dari seluruh murid yang menontonkan kami. Jantungku berdegup kencang. Aku dengan segera mengambil bunga yang berada di ka Dauri. “Horeee!” kembali suara bersoarak.
              “Kamu mau?” Tanyanya.
              “Mau” Jawabku.
              “Mau apa?” Tanyanya lagi.
              “Jadi pacar” Jawabku lagi.
              “Pacar siapa?” Tanyanya. Kali ini dengan nada menggoda.
              “Kamuu!” Teriakku.
            “Hahaha” Kami tertawa lepas di lapangan, dan ka Dauri memelukku erat. Ternyata ia punya selera humor yang tinggi, dan ternyata ada sepasang mata tidak senang melihatku, Gita. Aku tak tahu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar